Selasa, 27 Januari 2015

Pulanglah...

Pulanglah...
Setelah sekian lama kau tidak memperdulikannya...
Sekarang pulanglah....
Tangannya senantiasa terbuka untukmu....
Meskipun sekarang dengan keadaan yang sangat jauh berbeda...

Seharusnya..
Kau bisa pulang dengan senyum terbaikmu, dan ia akan menyambutmu dengan senyum terbaik pula...
Tapi...
Apa yang mau dikata...
Apa yang mesti disesali...
Semua sudah terjadi....

Bandung, 15 November 2014

(ditengah musim hujan yang semakin hujan T_T)

Jumat, 23 Januari 2015

HARAU-LEMBAH EKSOTIS PAYAKUMBUH

Alam takambang jadi guru”, merupakan salah satu filosofi minangkabau yang sering kudengar dari Ibuku, yang jika kuartikan secara sederhana bahwa dari alamlah kita bisa belajar dan mendapatkan ilmu. Sebuah filosofi yang sangat erat kaitannya dengan ayat Allah dan ilmu geologi (ilmu bumi). Dan kali ini Alhamdulillah Aku diberikan kesempatan yang sangat berharga untuk bisa berguru dari tempat wisata fenomenal “LEMBAH HARAU”.
            Teringat di perkuliahan Perkembangan Konsep Sratigrafi beberapa waktu lalu, sang dosen menanyakan tentang Harau yang fenomenal ini :
Dosen : “Ada yang dari Payakumbuah?”
(perlahan Aku mengangkat tangan, yaah meskipun Aku lebih merasa sebagai orang Jambi karena hampir seluruh hidupku kuhabiskan di Jambi, tapi jiwaku tetap minang. Dan yang barusan disebutkan oleh dosen itu adalah kampung Ibuku, yang artinya kampungku juga :D).
Dosen : “Anda pernah ke Harau?”
Aku : “Tidak Pak”, jawabku sambil menggeleng
Dosen : “Di harau itu ada batupasir merah dan batupasir putih, saya kasih kamu PR untuk pergi ke Harau”
(aku sedikit terperangah, tapi ada satu kata yang kusimpan hari itu, HARAU).
Minggu berikutnya, seolah terlupa dengan pertanyaannya pada minggu sebelumnya, sang dosen kembali menanyakan pertanyaan yang sama : ADA YANG DARI PAYAKUMBUAH???, dan Aku sudah tahu pertanyaan selanjutnya adalah tentang HARAU, beserta batupasir merah dan putihnya. Itulah kenapa Aku katakan bahwa Harau adalah tempat wisata fenomenal.
            Liburan semester I kemarin, Aku pulang ke Jambi. Orang tuaku memintaku untuk menemani Muthia kembali ke sekolahnya di Padang Panjang. Mengingat adikku ini memiliki agenda shooting (macam artis, hehe) yang dijadwalkan jauh lebih awal dari jadwal sekolahnya. Awalnya Aku sedikit enggan, tetapi setelah melihat muka memelas Muthia yang semakin lama semakin memprihatinkan :P, akhirnya Aku mengiyakan.
            Kembali ke Padang Panjang, seperti memanggil-manggil memori lamaku saat berada di kota Serambi Mekkah ini, terlebih air nya yang seperti air es. Kurang lebih 5 hari Aku menemani Muthia dengan agenda shooting-nya, beberapa spot yang menjadi lokasi shooting mulai dari Balingka, Koto Tinggi, Ngarai Sianok-Bukit Tinggi, dan berakhir di Aie Angek-Padang Panjang. Ohya, filmnya berjudul Senandung Cinta Aisyah, yang rencana akan di launching 22 Februari mendatang di Bukit Tinggi.
            Selesai agenda shooting, barulah Aku mengagendakan beberapa perjalanan sebelum Aku kembali ke Jambi. Pertama Aku memutuskan untuk pergi ke Diniyyah Puteri, almamater MTs-ku. Menginjakkan kaki kembali di Diniyyah Puteri seperti memasuki lorong waktu yang disana Aku seolah dibawa kembali ke masa-masa MTs ku. Alhamdulillah, disana Aku bisa bertemu dengan beberapa alumni yang mengabdi disana, dan malam itu Aku dan Muthia menginap di rumah Corry (salah seorang teman MTs-ku), dan disanalah kami menghabiskan malam menjelang-2015 bersama para kucing-kucing cantik, dan cerita-cerita nostalgia :D.
            1 Januari 2015
            Aku dan Muthia memutuskan untuk mengunjungi Harau. Dengan berbekal beberapa artikel dari internet, kami memberanikan diri untuk menjajaki Harau. Setelah bersiap2, kami berangkat ba’da zuhur dari asrama MAN Koto Baru menuju Bukit Tinggi, perjalanan sekitar 20 menit menggunakan angkot. Sesampainya di termianal aur kuning Bukit Tinggi, kami mencari bis menuju Harau. Akhirnya kami temui bis jurusan pekanbaru, yang melewati Harau (Payakumbuh) dengan perjalanan kurang lebih 1,5 jam.
            Matahari sudah beranjak turun, mungkin sudah sekitar jam 4 sore. Kami diturunkan tepat di depan pintu masuk Harau. Dari sana kami harus menaiki becak motor (bentor) untuk menuju ke dalam. Setelah menyepakati harga, akhirnya kami diantar ke dalam oleh Bapak Bentor. Aku mengatakan bahwa kami akan menginap semalam di Harau, jadi Bapak bentor menyarankan kami untuk terlebih dahulu mencari penginapan. Setelah melihat beberapa penginapan, akhirnya kami memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan ala-film Heidi, tepat di bawah salah satu air terjun.
            Kami melanjutkan perjalanan dengan bentor. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan dengan pemandangan tebing-tebing bebatuan yang menjulang tinggi (100-500 meter) dengan kemiringan hampir 90 derajat. Tampak dari kejauhan tebing-tebing ini tersusun dari batupasir merah (seperti kata dosenku :D). Diantara tebing-tebing terlihat air terjun menuruni cadas-cadas bebatuan ini dengan lembutnya, dan jika kita memandang kebawah, terhampar sawah-sawah yang berwarna hijau, perpaduan warna yang sempurna, keindahan yang membuat mulutku tak berhenti untuk berdecak kagum, EKSOTIS!!!.

Tebing Harau dan Hamparan Sawah
Ada 2 spot yang menarik di Harau, persimpangan ke kiri menuju Sarasah (Air Terjun) Aka Barayun, dan ke kanan menuju Sarasah Bunta. Kami memutuskan untuk terlebih dahulu mengunjungi Sarasah Aka Barayun. Sarasah aka Barayun menyuguhkan pemandangan air terjun, yang  dibawahnya terdapat kolam pemandian. Setelah mengambil beberapa foto akhirnya kami berangkat menuju sarasah Bunta. Angin segar terus mengelus wajah kami selama di bentor, Aku meminta Muthia untuk menghidupkan lagu Minang (Rayola-Rindu di hati), agar kami merasa benar-benar sedang pulang kampung :D.
Sarasah Aka Barayun
Sarasah Bunta menyuguhkan pemandangan yang lebih alami, air terjun nya tampak sangat indah meyentuh cadas-cadas bebatuan dibawahnya. Udaranya segar, dan tampak beberapa keluarga sedang menikmati suara air terjun sambil duduk di bebatuan sekitar air terjun. Cukup lama kami, mengelilingi Sarasah Bunta, beberapa tumbuhan menarik juga dijual disini seperti paku Monyet. Muthia juga berkesempatan untuk berfoto dengan ular, meskipun tidak berfoto berdua :P. Di sekitar sarasah bunta ini juga terdapat area camping, yang dimanfaatkan pengunjung untuk mendirikan tenda-tenda camping. Matahari sudah semakin turun, mendekati maghrib. Kami pun memutuskan untuk kembali ke penginapan.
Sarasah Bunta
Takut-takut-Mau :D
Penginapan ini disusun atas dinding pelupuh bambu, dan lantai papan, dengan model khas atap bagonjong minangkabau, terdapat satu tempat tidur, dan kamar mandi dibelakangnya, cukup mewah, untuk harga yang terbilang cukup murah (Rp. 100.000,-/malam). Malam itu, kami cepat beristirahat mengingat besok masih akan mengelilingi Harau, dan kami harus pulang sebelum zuhur.
Homestay Ala-Heidi
2 Januari 2015
Paginya kami sarapan nasi goreng di depan penginapan. Muthia melirik tetangga sebelah homestay kami, yang merupakan pasangan suami-istri bule, sudah cukup berumur. Dia mulai mengatakan keinginannya untuk berbicara bahasa dengan tetangga kami. Aku jawab, habiskan dulu nasinya. Belum selesai kami menghabiskan sarapan kami, ternyata bule itu sudah dijemput oleh supirnya, dan bersiap-siap akan meninggalkan penginapan. Muthia mulai gelisah, dan kembali membujukku untuk segera “say hi”, kepada mereka.
Akhirnya kutinggalkan juga sarapan yang belum habis, dan kucoba memulai percapakan dengan supir dan bule wanita (Ibu tetangga). Terjadilah percakapan singkat, rupanya mereka berasal dari Paris, tapi sungguh Kami kesulitan untuk mengeja namanya, yang terdengar seperti Bouhevski ketika diucapkan. Dia menanyakan beberapa pertanyaan kepadaku dan Muthia, satu kata yang terlontar dari mulutnya yang membuat kami berdua tertawa adalah “I think you twin, bisanya Aku dan Muthia terlihat kembar :D. Dia juga menanyakan jurusanku, Aku jelaskan, “learn about rocks, geology”. Dia menunjuk-nunjuk tebing itu dengan surprise, sembari menceritakan salah seorang temannya yang juga seorang geologist. Akhirnya perbincangan singkat antar tetangga, kami akhiri dengan foto keluarga :D (look like family photo group, hehe).
Foto Keluarga
Selanjutnya setelah meneruskan sarapan yang tertunda, Kami pun meninggalkan penginapan untuk berkeliling ke beberapa spot yang belum sempat terjelajahi kemarin, Lembah ECHO. Untuk menuju lembah Echo, kami cukup berjalan kaki dari penginapan. Satu hal yang paling kusuka adalah langitnya begitu indah hari itu, bersih, biru dan sangat cantik jika disandingkan dengan tebing-tebing Harau. Jadi jangan salahkan Aku, kalau perjalanan menuju lembah Echo menjadi sangat lama (±40 menit), karena Aku tak tahan untuk menjepret hampir semua spot yang terlihat sangat indah....Masha Allah.
Harau dan Blue Sky
Akhirnya sampai jugalah kami ke Lembah Echo. Echo berasal dari bahasa Inggris yang artinya “gema”. Menurut beberapa artikel yang kubaca, jika kita berteriak disini, maka suara kita akan bergema. Kami penasaran, dan ingin mencobanya. Beruntunglah hari masih pagi, jadi suasan disini masih terbilang sepi, jadi gak begitu malu untuk teriak-teriak disini.

Lembah Echo
“ H A R A U....” teriak kami bersamaan, tak lama terdengar gemanya di tebing bagian belakang, dengan volume yang lebih rendah, kami tertawa bersama. Konon ceritanya nama Harau ini juga berasal dari bahasa minang Parau yang artinya suara serak (mungkin karena sering teriak disini kali yak :D). Penyebutan dengan suara penduduk yang parau didengar menjadi “orau”, yang lantas berubah menjadi “arau”. Lama kelamaan penyebutannya menjadi “harau”. Dari beberapa sumber di internet juga, Aku temukan bahwa menurut hasil survey tim geologi asal Jerman pada 1980 menyimpulkan jenis batuan yang ditemukan di kawasan ini identik dengan yang ditemukan di dasar laut berupa batuan breksi dan konglomerat. Menurut legenda setempat, di sekitar cagar alam lembah harau dulunya adalah laut. Adapun bebatuan yang berwarna merah menurut milis iagi disebabkan oleh proses oksidasi yang sangat intensif, sebagai indikasi terjadinya uplift tektonik pada periode (neogen akhir-resen).

 Lembah Echo menjadi destinasi terakhir kami di Harau. Matahari mulai meninggi, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Rasa enggan untuk meninggalkan Harau dengan ke eksotisan nya, membuatku bertekad untuk kembali kesini suatu saat nanti. Mungkin Aku sudah jatuh cinta dengan HARAU, terlebih dengan penciptanya... Alhamdulillah...Great Thanks to Allah.

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Fusshilat :53).